Pengembangan Pariwisata
Provinsi Papua Barat melalui Hubungan Sister Province
Oleh Lashown Toga
Papua Barat
merupakan provinsi yang cukup muda di Indonesia, serta letak geografis di timur
Indonesia, tepat nya di pulau Papua, yang tentu nya banyak potensi pariwisata
yang menarik turis intra maupun mancanegara karena kondisi alam yang masih
alami. Pembahasan provinsi ini akan menjadi semakin menarik di dalam konteks
pengembangan pariwisata melalui hubungan 'sister
province'.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa kondisi alam di Papua Barat, banyak belum disentuh oleh tangan-tangan
jahat manusia sehingga keindahan alam masih terjaga dan alami. Di antara
beberapa tempat wisata di Papua Barat, ada satu destinasi wisata yang sangat
popular dan menjadi icon wisat dari
Papua Barat yaitu Raja Ampat.
Kabupaten
Raja Ampat menawarkan destinasi wisata gugusan pulau-pulau yang terbentang di
mana kekayaan terumbu karang serta berbagai jenis ikan terdapat di bawah
lautan. Raja Ampat merupakan salah satu dari 10 tempat menyelam terbaik yang
dimiliki dunia. Bahkan, diakui sebagai perairan nomor satu di dunia yang
memiliki flora fauna terlengkap di dunia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa Raja Ampat memiliki hampir 75% terumbu karang yang ada di seluruh dunia.
Selain itu, perairan Raja Ampat adalah tempat tinggal dari 1000 lebih jenis
ikan karang dan 700 jenis Moluska. Kesimpulan penelitian itu adalah tak satupun
perairan dunia yang memiliki kondisi ini selain Raja Ampat.[1]
Fakta di atas menunjukkan
bagaimana keindahan wisata yang ditawarkan oleh Raja Ampat untuk menarik wisatawan
maupun investor untuk mengembangkan wisata ini terutama melalui opsi hubungan sister province.
O’Toole (2001)
mendefinisakan sister city/province
sebagai bentuk kerja sama yang disepakati secara resmi antara dua negara yang
berbasis luas. Definisi yang lebih khusus digunakan oleh Villers (2005), sister city/province yaitu kerjasama
strategis jangka panjang antara masyarakat di berbagai kota atau kota-kota di mana
kota mereka menjadi pemeran utama. Secara resmi artinya hubungan sister city
harus disetujui otoritas lokal yang mendukung kegiatan masyarakat (SCI, 2003)[2].
Adapun
beberapa bidang yang menjadi bidang kerjasama Sister City antara lain :
1.
Ekonomi, Perdagangan, Investasi, Industri, dan
Pariwisata
2.
lmu Pengetahuan, Teknologi, dan Administrasi
3.
Pendidikan, Kebudayaan, Kesejahteraan Sosial, Pemuda
dan Olahraga
4.
Bidang-bidang lain yang kemudian akan disetujui oleh
kedua belah pihak
Hubungan sister province/city sudah lazim
dilakukan pada masa sekarang, dikarenakan memberikan banyak kesempatan serta
keuntungan bagi pemerintah daerah (sub state actor).
Terutama di Indonesia sendiri, diatur dalam
UU No 37
Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri,
UU Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, dan UU
Nomor 23 Tahun
2014 mengenai Pemerintahan Daerah (sebelumnya
UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah). Sedangkan mekanisme pelaksanaan
kerjasama diatur tidak
secara detail dalam Undang-undang
Nomor 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar
Negeri, Undang-undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, dan
Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(sebelumnya Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah).[3]
Fakta menarik ditemukan capeg bahwa hingga saat makalah ini disusun, Provinsi Papua Barat belum pernah
menjalin hubungan sister Province,
meskipun beberapa kota/kabupaten di Papua Barat sudah terlebih dahulu menjalan
hubungan sister city, yaitu Kabupaten
Manokwari dan Kota Sorong berdasarkan temuan capeg. Temuan hubungan sister city itupun belum dapat
dikonfirmasi secara valid dikarenakan sumber informasi berasal dari halaman
wikipedia dan keterbatasan data yang dapat diperoleh oleh capeg.
Secara nasional, indeks daya saing pariwisata Indonesia menurut World Economy Forum (WEF) juga
menunjukkan perkembangan menggembirakan. Data WEF menyebutkan peringkat
Indonesia naik 8 poin dari 50 di tahun
2015, ke peringkat 42 pada tahun 2017.[4]
Sumbangan devisa dari sektor pariwisata meningkat dari USD 12,2 miliar pada tahun 2015, menjadi USD13,6 miliar di 2016 dan
naik lagi menjadi USD 15 miliar pada tahun
2017.
Pada tahun 2018 ini ditargetkan
meraup devisa USD 17 miliar dan USD20 miliar di tahun 2020. Adanya trend positif di sektor pariwisata Indonesia
merupakan momen yang baik untuk dimanfaatkan setiap Provinsi guna
memperkenalkan wisata di setiap daerah.
Sektor
pariwisata yang meningkat sebagai bentuk kepercayaan wisatawan untuk berwisata
di Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi faktor tempat wisata dikatakan
baik. Menurut Yoeti dalam
bukunya Pengantar Ilmu Pariwisata
mengatakan: “Prasarana kepariwisataan adalah semua
fasilitas yang memungkinkan
agar sarana kepariwisataan dapat
hidup dan berkembang sehingga dapat memberikan pelayanan untuk memuaskan kebutuhan wisatawan
yang beraneka ragam”. Prasarana pariwisata tersebut antara lain[5] :
- Perhubungan : jalan raya, rel kereta api, pelabuhan udara dan laut, terminal.
- Instalasi pembangkit listrik dan instalasi air bersih.
- Sistem telekomunikasi, meliputi telepon, telegraf, radio, televise, kantor pos
- Pelayanan kesehatan meliputi puskesmas maupun rumah sakit.
- Pelayanan keamanan meliputi pos satpam penjaga obyek wisata maupun pos-pos polisi untuk menjaga keamanan di sekitar obyek wisata.
- Pelayanan wistawan berupa pusat informasi ataupun kantor pemandu wisata.
- Pom bensin
Sarana kepariwisataan adalah
perusahaan-perusahaan yang memberikan
pelayanan kepada wisatawan, baik
secara langsung maupun
tidak langsung dan
hidup serta kehidupannya tergantung
pada kedatangan wisatawan.
Sarana kepariwisataan tersebut adalah[6] :
- Perusahaan akomodasi : hotel, losmen, bungalow.
- Perusahaan transportasi : pengangkutan udara, laut atau kereta api dan bus-bus yang melayani khusus pariwisata saja.
- Rumah makan, restaurant, depot atau warung-warung yang berada di sekitar obyek wisata dan memang mencari mata pencaharian berdasarkan pengunjung dari obyek wisata tersebut.
- Toko-toko penjual cinderamata khas dari obyek wisata tersebut yang notabene mendapat penghasilan hanya dari penjualan barang-barang cinderamata khas obyek tersebut dll
Namun, menurut data The Conversation, kondisi kabupaten Raja
Ampat masih terdapat 20,5% dari
46.600
penduduk pada tahun 2016 yang hidup di bawah garis kemiskinan dan
memiliki akses rendah terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pasar. Data memperlihatkan pada tahun 2015, penduduk Raja Ampat per orang
rata-rata mengeluarkan Rp849.715
per bulan untuk makanan dan non makanan. Angka ini 28,8% lebih
tinggi ketimbang angka rata-rata nasional untuk perdesaan (Rp 659.414) karena
biaya hidup di Raja Ampat sangat tinggi.[7] Banyak faktor sarana dan prasarana yang belum terpenuhi
sehingga terdapat permasalahan kemiskinan masih menjerat kabupaten Raja Ampat.
Di sisi
perhotelan, sebagai gambaran kunjungan wisatawan di Papua Barat, berdasarkan
data BPS Provinsi Papua Barat, jumlah
tamu gabungan (asing dan dalam negeri) yang datang
dan menginap di
Provinsi Papua Barat pada tahun 2017 mencapai 154.009 orang.
Jumlah ini mengalami penurunan 34.730 orang tamu atau 18,40 persen bila
dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2016 yang mencapai 188.739 orang[8].
Trend yang menurun menandakan berkurang nya daya tarik wisata di Papua Barat,
termasuk Raja Ampat. Berkurangnya daya tarik, erat hubungannya dengan sarana
dan prasarana yang masih minim sehingga
mendorong kenaikan harga maupun biaya wisata di Papua Barat.
Dengan begitu, capeg melihat peluang Provinsi Papua Barat untuk menjajaki hubungan Sister Province guna mengembangkan pariwisata khususnya Raja Ampat, guna
mengatasi maupun mengurangi masalah-masalah yang dihadapi.
Pada
tahun 2013, adanya upaya hubungan yang sudah mulai dibentuk oleh Provinsi Papua
Barat dengan Provinsi Akita, Jepang. Adanya pertemuan antara Mejelis
Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat sebagai lembaga representasi
kultural masyarakat asli Papua, dan Gubernur
Provinsi Akita, Jepang, Norihisa Satake di Hotel Sari PanPasifik pada tanggal 15 Mei 2013.[9]
Gubernur
Norihisa Satake memperkenalkan Provinsi
Akita memiliki bidang unggulan dalam pembangunan di
wilayahnya adalah pariwisata, pertanian, pertambangan,
industri mobil dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Pertemuan tersebut juga, Gubernur Norihisa
Satake mengutarakan kesediaan Provinsi
Akita untuk membantu pembangunan pertanian, pariwisata, dan
pengembangan SDM di Papua barat.[10]
Ketertarikan Provinsi Akita terhadap hubungan ini dilandasi oleh faktor historis
yaitu pengumpulan
dan pengembalian tulang-belulang dari prajurit Jepang khususnya Provinsi Akita
yang gugur dalam Perang Pasifik atau Perang Dunia II di
Papua Barat. Termasuk situs sejarah di Pulau Mapia yang menjadi
basis 200 prajurit Jepang asal Akita yang gugur di sana.[11] Gubernur Norihisa Satake persahabatan dan
kerja sama antar Provinsi Akita dan Papua Barat, memang dibutuhkan kesepakatan
berbentuk Sister City (Kota
Kembar)/ Sister Province.
Salah
satu pembelajaran yang dapat dijadikan
acuan adalah Sister City antara
Yogyakarta dan Kyoto, yang juga bagian dari Jepang, merupakan contoh kerjasama
yang berjalan dengan baik. Daerah Yogyakarta sebagai yang memiliki banyak situs
sejarah bergeser menjadi kota wisata. Prof. Dr. Yoshifumi Muneta
dalam Tourism Heritage Seminar 2016 menjelaskan bagi kota wisata bersejarah,
termasuk Yogyakarta, menyeimbangkan pengaruh industri pariwisata dengan
strategi pembangunan yang berkelanjutan menjadi tantangan bagi masyarakat serta
pemerintah. Konsentrasi turis dan pembangunan industri pariwisata di kota
bersejarah berpotensi membawa berbagai permasalahan terhadap kelestarian situs-situs yang menjadi
aset budaya dan sejarah.[12]
Kepala
Pusat Studi Pariwisata UGM, Dr. Ir. Djoko Wijono, M.Arch., menyambut baik
penyampaian Yoshifumi untuk menjadikan pelajaran bagi pembuatan kebijakan
pembangunan pariwisata di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Kyoto dan
Yogyakarta sebagai sister city
diharapkan dapat terus menjalin hubungan yang baik dan bekerja sama.[13]
Keberhasilan
sister city antara Kyoto
dan Yogyakarta, menjadi komparasi yang
cukup baik untuk Provinsi Papua Barat untuk melakukan hubungan sister province
dengan Provinsi Akita, yang sama-sama merupakan provinsi di Jepang. Di luar
itu, Jepang merupakan negara yang terdiri dari kumpulan pulau layaknya
Indonesia, yang memiliki karakteristik serupa. Selain itu, hubungan diplomatik
Indonesia dan Jepang sudah berusia 60 tahun pada tahun 2018. Lamanya usia
hubungan diplomatik yang dimulai tanggal 20 Januari 1958 adalah bentuk hubungan
diplomatik yang dijaga dengan baik dan adanya rasa kepercayaan. Capeg melihat
ini adalah modal penting guna menjalin hubungan pada tingkat sub-state / Pemerintah Daerah di masa
sekarang maupun di masa akan datang untuk kedua negara, termasuk mendorong hubungan sister
province Papua Barat untuk pertama kali.
Jika melihat sisi lain
dari negara Jepang sebagai mitra diplomatik negara Indonesia, secara umum
terjadi peningkatan jumlah wisatawan ke Jepang dari periode tahun 2013 hingga
tahun 2017 yang cukup signifikan. Kunjungan wisatawan ke Jepang
naik hampir dua kali lipat. Dari 10 juta turis tahun 2013, melonjak hampir 20
juta di 2017. Angka ini cukup fantanstis sebab proyeksi kunjungan 20 juta turis ini diprediksi akan tercapai pada tahun 2023, namun
terjadi 5 tahun lebih cepat.[14]
Ini menunjukkan negara Jepang berhasil dalam pengelolaan pariwisata yang mereka
miliki.
Dengan demikian, dapat dinilai bahwa tidak adanya hubungan sister
province yang dimiliki Provinsi Papua Barat merupakan sebuah permalasahan
dalam konteks kekayaan hubungan/relasi yang dimiliki. Adanya potensi yang luar
biasa dari wisata alam Papua Barat, yaitu Raja Ampat belum dapat dikembangkan
dan dieksploitasi dari berbagai sektor. Adanya kesempatan yang dijamin oleh
undang-undang untuk melakukan kerjasama luar negeri belum dapat dimanfaatkan
oleh Provinsi Papua Barat. Hadirnya Bank Indonesia Provinsi Papua Barat sebagai
strategic advisor diharapkan
mengambil peran yang penting untuk mendorong dan mengusahakan terjadi hubungan sister province untuk pertama kali bagi
Provinsi Papua Barat.
[1] Indonesia Kaya, Jelajah Indonesia : Surga bawah
laut dunia adalah Raja Ampat diakses
melalui https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/surga-bawah-laut-dunia-adalah-raja-ampat pada tanggal 4 November
2018
[2] R. Ananda. 2006, Gambaran Kerjasama Indonesia-Thailand,
diakses melalui repository.unpas.ac.id/11650/4/BAB%20II.docx pada tanggal 5 November
2018
[4] Saiful Munir, 2018, Empat Tahun Jokowi-JK : Pariwisata Indonesia
Peringkat Sembilan Dunia diakses melalui https://ekbis.sindonews.com/read/1348763/34/empat-tahun-jokowi-jk-pariwisata-indonesia-peringkat-sembilan-dunia-1540355935 pada tanggal 4 November 2018
[7] The Conversation, 2016, Behind the beauty
of Indonesia Raja Ampat Islands Lie Poverty and Neglect, diakses melalui https://theconversation.com/behind-the-beauty-of-indonesias-raja-ampat-islands-lie-poverty-and-neglect-67164 pada tanggal 7 November 2018
[9] Berita Satu. 2013. MRP Papua Barat
Jalin Persahabatan dengan Akita Jepang, diakses melalui
http://sp.beritasatu.com/home/mrp-papua-barat-jalin-persahabatan-dengan-akita-jepang/35607
pada tanggal 10 November 2018
[12] Gloria, 2016, Belajar dari Kyoto
dalam Membangun Industri Pariwisata Berbudaya, diakses melalui
https://ugm.ac.id/id/berita/11002-belajar.dari.kyoto.dalam.membangun.industri.pariwisata.berbudaya
pada tanggal 10 November 2018
[14] Dwi
Murdaningsih, 2017, Arief Yahya Contoh
Cara Jepang Gandakan Kunjungan Wisata, diakses melalui
https://republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/17/04/01/onpnpw368-arief-yahya-contoh-cara-jepang-gandakan-kunjungan-wisata
pada tanggal 10 November 2018